Hot
    Responsive Ads
    Home Headline News

    Kontroversi Pahlawan Nasional Soeharto, PDI-P Tegas Tolak, Singgung Reformasi dan Korban Orde Baru

    "Tegas tolak gelar pahlawan Soeharto, PDI-P ingatkan catatan kelam KKN & HAM Orde Baru. Bertentangan dengan akal sehat! Kritik keras Guntur Romli."

    2 min read

    -
    Kontroversi Pahlawan Nasional Soeharto, PDI-P Tegas Tolak, Singgung Reformasi dan Korban Orde Baru
    Presiden Prabowo menganugerahkan gelar pahlawan kepada putri dan putra Presiden ke-2 Soeharto
    Momen Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada putri dan putra Presiden ke-2 Soeharto di Istana Merdeka pada Senin (10/11) (REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

    JAKARTA, KOMPAS.com – Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Jenderal Besar TNI (Anumerta) Soeharto pada Hari Pahlawan 10 November 2025 menuai kontroversi tajam. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menyatakan sikap penolakan keras terhadap gelar yang disematkan kepada Presiden ke-2 RI tersebut, dengan menegaskan bahwa pemberian gelar tersebut mencederai semangat Reformasi 1998 dan nurani bangsa. Sikap penolakan ini didasarkan pada catatan kelam era Orde Baru, mulai dari kasus dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, hingga ironi penyetaraan posisi dengan tokoh yang justru menjadi korban kekerasan rezim Orde Baru.

    Politikus PDI-P Mohamad Guntur Romli menyatakan, pihaknya hanya menerima gelar pahlawan nasional yang diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada sembilan tokoh lainnya. PDI-P secara tegas menolak penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.

    “Pemberian pahlawan bagi Soeharto bertentangan dengan proses hukum, akal sehat dan nurani bangsa. Pemberian gelar pahlawan ke Soeharto sama saja dengan pengkhianatan terhadap Reformasi '98,” kata Guntur Romli.


    Ironi Marsinah dan Gus Dur sebagai Pahlawan

    Menurut Guntur Romli, logika pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sangat bertentangan dengan akal sehat. Soeharto adalah sosok yang digulingkan oleh gerakan rakyat pada 1998. Ironi semakin mencolok ketika ia disetarakan dengan tokoh-tokoh yang dikenal sebagai korban atau penentang utama rezimnya.

    Romli menyoroti situasi di mana aktivis buruh Marsinah dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga menerima gelar Pahlawan Nasional, harus disandingkan dengan Soeharto. Marsinah dikenal sebagai korban kekerasan di era Orde Baru, sementara Gus Dur adalah salah satu tokoh yang vokal melawan otoritarianisme Orde Baru.

    “Bagaimana mungkin Marsinah dan Gus Dur yang menjadi sasaran kekerasan di era Orde Baru dinobatkan sebagai pahlawan bersama dengan pelaku kekerasan tersebut?” tanya Romli, menekankan kontradiksi menempatkan 'pelaku' dan 'korban' pada posisi kehormatan yang sama.


    Jasa Masa Kemerdekaan dan Catatan Hukum

    Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto didasarkan pada Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 116/TK Tahun 2025. Dalam Kepres tersebut, jasa Soeharto disebut merujuk pada kontribusinya di masa perjuangan kemerdekaan, antara lain sebagai Wakil Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Yogyakarta dan memimpin pelucutan senjata Jepang di Kota Baru, Yogyakarta, pada 1945.

    Namun, rekam jejak ini dipertanyakan karena catatan hukum dan sejarah setelah kemerdekaan. Romli mengingatkan, Soeharto adalah subjek dari putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

    “Negara/pemerintah harusnya menagih kepada Soeharto dan ahli warisnya ganti rugi triliunan sebagaimana putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, bukan malah memberikan gelar pahlawan dan tunjangan tahunan,” tegas Romli.

    Fakta hukum yang dirujuk adalah putusan MA Nomor 2944 K/Pdt/2015, yang menghukum Yayasan Supersemar, yang didirikan Soeharto, untuk membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 4,4 triliun lebih, karena terbukti melakukan penyelewengan dana. Kasus ini menjadi representasi tindak pidana korupsi yang masif selama masa kekuasaannya.


    Persyaratan Pahlawan Nasional Berdasarkan Undang-Undang

    Sikap penolakan PDI-P ini selaras dengan salah satu kriteria umum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Salah satu syarat umum untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional adalah tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

    Meskipun Soeharto meninggal sebelum proses hukumnya tuntas, tuduhan KKN dan pelanggaran HAM berat yang dilekatkan pada rezimnya menjadi catatan sejarah yang tidak dapat diabaikan, dan dianggap bertentangan dengan kriteria "memiliki integritas moral dan keteladanan" serta "berkelakuan baik" yang juga disyaratkan dalam UU.

    Polemik ini semakin mempertegas adanya dua kubu pandangan terhadap sosok Soeharto, yakni apresiasi atas jasa kemerdekaan dan pembangunan di satu sisi, versus tuntutan pertanggungjawaban atas dugaan korupsi dan pelanggaran HAM di sisi lain. Sikap tegas PDI-P menjadi penanda bahwa rekonsiliasi sejarah di Indonesia masih menghadapi jalan panjang dan penuh perdebatan.

    Komentar
    Additional JS