Hot
    Responsive Ads
    Home Aceh News Sumatera

    Kisah Heroik Nakes Aceh: Tembus Lumpur dan Jembatan Putus

    5 min read

    -
    Kisah Heroik Nakes Aceh: Tembus Lumpur dan Jembatan Putus

    ACEH - HarianExpress - Kisah Heroik Nakes Aceh: Tembus Lumpur dan Jembatan Putus. Nakes di Aceh bertaruh nyawa demi korban banjir. Mereka menembus lumpur dan jembatan putus demi layanan kesehatan di tengah keterbatasan fasilitas.

    kisah-heroik-nakes-aceh-tembus-lumpur-jembatan-putus

    29 Desember 2025 18:53 WIB

    Cahaya matahari mulai meredup saat azan magrib berkumandang di seberang jalan. Namun kesunyian justru menyelimuti Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Pantee Bidari di Aceh Timur.

    Bangunan layanan kesehatan ini tampak seperti rumah hantu tak berpenghuni. Berbagai perabot mulai dari sofa hingga timbangan bayi berserakan memenuhi halaman.

    Kondisi porak poranda masih terlihat jelas pada Rabu petang 24 Desember 2025. Tiga pekan setelah banjir menerjang kawasan tersebut aktivitas masih lumpuh total.

    Lumpur tebal melapisi bangunan dan halaman sementara beberapa sudut ruangan gelap gulita tanpa penerangan.

    Hanya ada empat orang di sana. Mereka merebah lelah di atas kardus dalam sebuah ruangan dengan dinding dan pintu besi yang masih berlumpur.

    “Di sini kami empat orang,” ucap dr. Indra Sunarli mengatakan saat tiba di Aceh

    Kementerian Kesehatan mengirim dr. Indra dan rekan rekannya dari berbagai daerah sebagai relawan. Mereka bertugas menangani kesehatan warga pascabanjir di wilayah Aceh Timur khususnya Kecamatan Pantee Bidari.

    Dokter Indra tiba di Pantee Bidari pada Senin 22 Desember 2025. Ia menemukan puskesmas dalam kondisi lumpuh total.

    Ruang pelayanan terendam lumpur dan seluruh fasilitas rusak parah. Banjir menelan obat obatan hingga tempat tidur pasien. Bah bahkan menghancurkan lemari berkas dan fasilitas UGD.

    Meski demikian dr. Indra menolak untuk mengeluh. Ia memfokuskan diri untuk mengaktifkan kembali pelayanan puskesmas secepat mungkin.

    Bersama TNI ia membersihkan tumpukan lumpur di ruang pelayanan dan ruangan yang mereka gunakan sebagai tempat tinggal sementara.

    “Enggak disediakan [tempat tinggal]. Kami menyediakan sendiri. Kami yang cari. Jadi memanfaatkan yang darurat,” ungkapnya.

    Hidup Darurat di Tengah Misi Kemanusiaan

    Dokter Indra bersama tim menempati ruangan tanpa alas tidur di sebelah UGD. Mereka membersihkan lumpur di sana dan menjadikannya tempat istirahat seadanya.

    “Bersihkan sendiri. Terus ini kan enggak ada tutupnya, rusak pintunya, kami tutup pakai tirai,” jelasnya sambil menunjuk pintu terali besi bertirai.

    Kondisi tempat tinggal mereka nyaris sama dengan para pengungsi. Untuk layanan kesehatan mereka menyulap aula menjadi ruangan darurat.

    Sebuah ranjang pasien sebaris kursi baja dan beberapa meja obat mengisi ruangan tersebut. Di sanalah dr. Indra memberikan pelayanan standar seperti pemeriksaan umum dan suntik vitamin.

    “Bedah kecil ada. Cuma bedah sederhana. Hanya suntik-suntik gitu masih bisa,” tuturnya.

    Dokter umum ini bekerja bersama perawat dan bidan. Mereka melayani 50 hingga 60 pasien setiap hari.

    Jumlah ini belum termasuk pasien yang mereka kunjungi langsung di pengungsian. Mereka proaktif menjemput bola dengan turun langsung ke desa desa terdampak.

    Namun upaya jemput bola bukan tanpa kendala. Keterbatasan alat kesehatan dan obat obatan menjadi tantangan utama.

    Masalah kendaraan juga menghambat rujukan pasien ke rumah sakit karena minimnya ambulans yang beroperasi.

    “Ambulans ada tapi enggak bisa digunakan. Paling kita hanya bisa kasih obat, terapinya obat saja untuk sementara,” kata dr. Indra.

    Menerjang Jembatan Putus

    Kisah serupa dialami dr. Dani Ferdian yang memimpin Tim Tanggap Bencana Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad).

    Saat tiba di Kecamatan Langkahan Aceh Utara pada 14 Desember 2025 ia mendapati puskesmas tertutup lumpur.

    Tim ini tidak bisa langsung membuka praktik maksimal. Langkah taktis mereka ambil dengan memberikan pelayanan kesehatan keliling sembari menunggu pembersihan puskesmas.

    “*Goal* besarnya bagaimana melakukan reaktivasi terhadap pelayanan kesehatan dasar di puskesmasnya,” cerita Dani pada Rabu (24/12).

    Relawan dari berbagai universitas dan anggota TNI bahu membahu membersihkan Puskesmas Langkahan hingga bisa beroperasi darurat pada 18 Desember.

    Setelah misi tersebut selesai dr. Dani membagi timnya. Sebagian besar dokter spesialis dikirim ke Bener Meriah untuk menembus Kecamatan Mesidah yang terisolasi.

    Puskesmas di Mesidah selamat dari bencana tetapi akses menuju ke sana terputus total. Tim Unpad harus menyeberangi jembatan putus dengan berjalan kaki sambil memanggul logistik.

    Sesampainya di seberang motor warga sudah siap menjemput mereka.

    Medan berat memaksa para dokter hidup prihatin layaknya prajurit. Mereka menyantap ransum militer dan tidur menggunakan matras atau kantung tidur di puskesmas.

    Perjuangan menembus lokasi terdampak memakan waktu berjam jam. Dokter Dani menceritakan perjalanan dari markas mereka di Lhokseumawe menuju Aceh Utara membutuhkan waktu 2 hingga 3 jam melewati jalanan rusak.

    “Jadi 4–5 jam itu dipakai untuk perjalanan. Pelayanan sekitar 4–5 jam juga di lokasi,” tambahnya.

    Hal yang sama dirasakan dr. Michelle Mailangkay dari tim Rumah Sakit Apung Laksamana Malahayati.

    Ia menempuh empat jam perjalanan dari Kota Langsa menuju Babo di pedalaman Aceh Tamiang untuk memberikan layanan kesehatan keliling. Dalam sehari para relawan ini mampu melayani 80 hingga 100 pasien.

    kisah-heroik-nakes-aceh-tembus-lumpur-jembatan-putus

    Dilema Relawan di Lapangan

    Keterbatasan fasilitas kesehatan dan kondisi pengungsi yang memprihatinkan menjadi dilema tersendiri bagi para relawan.

    Di wilayah Babo dr. Michelle menemukan pengungsi penderita hipertensi dan diabetes dengan kondisi kaki luka bernanah.

    Demi menutupi luka pasien tersebut menggunakan serabut yang justru memperparah infeksi.

    “Yang punya sakit gula sudah sampai luka-luka,” ujar dr. Michelle.

    Keterbatasan alat membuat tim hanya bisa membersihkan luka dengan alkohol dan memberikan obat standar.

    Kondisi lingkungan yang berlumpur membuat upaya penyembuhan semakin sulit. Kaki pengungsi kerap kembali terendam air kotor. Kurangnya asupan protein dan air bersih semakin memperburuk keadaan.

    “Jadi ya, paling cuma bisa bilang: ‘Saya bisa bantu obat, tapi kalau sekiranya ada yang bisa dipilih-pilih nih makanannya, tolong jangan makan yang tinggi garam, yang tinggi gula,’” ucap dr. Michelle pasrah.
    “Kami kasih pelayanan dengan edukasi [pasien], cuma kami menyesuaikan sama keadaan di lapangan,” lanjutnya.

    Dokter Indra juga banyak menjumpai kasus hipertensi akibat konsumsi mi instan yang berlebihan. Bantuan makanan yang didominasi mi instan membuat pengungsi tidak memiliki pilihan lain.

    “Penyakit yang paling sering, pertama ISPA karena mungkin debu juga. Kemudian hipertensi karena mereka banyak yang mengonsumsi mi,” jelas dr. Indra.

    Kondisi psikologis korban memperparah gejala fisik mereka. Tim Unpad menemukan banyak kasus Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) di tenda pengungsian. Hujan deras kerap memicu kecemasan berlebih pada para pengungsi.

    “Saat hujan besar terjadi, mereka cemas berlebihan,” ungkap dr. Dani.

    Ancaman Bencana Kesehatan Gelombang Kedua

    Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama selaku Direktur Pascasarjana Universitas YARSI menegaskan bahwa pemulihan kesehatan tidak bisa berdiri sendiri.

    Kebutuhan primer seperti rumah dan makanan harus terpenuhi agar penanganan kesehatan berhasil.

    “Kita mau lakukan apa pun, kalau dia masih tetap enggak punya rumah, enggak punya makan, enggak punya segala macam, orangnya akan sakit,” tegas Tjandra.

    Ia menambahkan bahwa pembangunan infrastruktur seperti jembatan sangat vital bagi kehidupan dan kesehatan masyarakat.

    “Seribu kali, sebanyak apa pun dokter dikirim, kalau situasi begitu-begitu terus ya enggak akan beres-beres,” imbuhnya.

    Sekjen Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh dr. Iziddin Fadhil berharap reaktivasi puskesmas segera terwujud.

    Langkah ini krusial untuk mencegah lonjakan penyakit kronis dan menular pascabanjir. Ia mengkhawatirkan pasien TBC yang putus obat serta penderita hipertensi yang berisiko stroke atau gagal ginjal.

    “Tadinya dia tidak menderita penyakit jantung pembuluh darah, akhirnya bisa saja berisiko jadi penyakit jantung. Demikian juga tadinya dia tidak stroke, bisa saja jadi stroke karena hipertensinya tidak terkontrol,” kata Iziddin.

    Lingkungan yang buruk juga meningkatkan risiko penyakit infeksi. Iziddin memperingatkan adanya ancaman bencana gelombang kedua yang lebih mematikan.

    “Yang kami takutkan dari kondisi hari ini yaitu gelombang kedua disaster. Bukan natural disaster-nya, tetapi health disaster,” tutup Iziddin.

    Banjir Aceh, Tenaga Kesehatan, Relawan Bencana, Kemenkes, IDI Aceh, Pasca Banjir, Kesehatan Pengungsi

    Sumber

    1. Kumparan - https://kumparan.com/kumparannews/perjuangan-nakes-di-aceh-berjibaku-dengan-lumpur-menerabas-jembatan-putus-26WsxR7OMqQ/full

    Komentar
    Additional JS