KPK Sita Dua Aset Mantan Staf Ahli Menaker Yassierli Terkait Kasus Pemerasan RPTKA

Nama Redaksi
Tim Redaksi
JAKARTA, HARIANEXPRESS.COM - KPK Sita Dua Aset Mantan Staf Ahli Menaker Yassierli Terkait Kasus Pemerasan RPTKA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita kontrakan di Depok dan rumah di Bogor milik Haryanto, mantan staf ahli era Menaker Yassierli. Kasus ini melibatkan pemerasan pengurusan RPTKA senilai Rp53,7 miliar sejak 2019. Temukan detail lengkapnya di sini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menyita dua aset berharga milik Haryanto, mantan Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional di era Menaker Yassierli. Langkah ini menambah tekanan pada kasus dugaan pemerasan yang mengguncang lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan. Bayangkan betapa mengecewakannya ketika pejabat yang seharusnya melayani rakyat justru terlibat dalam praktik curang seperti ini. Kita semua berharap penegakan hukum seperti ini terus berlanjut untuk membersihkan birokrasi.
"Aset tersebut berupa bidang tanah atau bangunan, yaitu kontrakan seluas 90 meter persegi di wilayah Cimanggis, Kota Depok, dan rumah seluas 180 meter persegi di wilayah Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat," ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada para jurnalis di Jakarta, Minggu.
Penyitaan ini terjadi pekan lalu, dan KPK mengaitkannya langsung dengan dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kemenaker. Haryanto termasuk salah satu dari delapan tersangka utama dalam kasus tersebut. Sungguh ironis, ya, karena RPTKA seharusnya memudahkan tenaga kerja asing berkontribusi di Indonesia, tapi malah jadi alat untuk memeras.
"Kedua aset tersebut dibeli secara tunai yang diduga uangnya bersumber dari hasil dugaan tindak pemerasan kepada para agen TKA. Kedua aset tersebut kemudian diatasnamakan kerabatnya," katanya menjelaskan.
Kembali ke awal Juni lalu, tepatnya 5 Juni 2025, KPK merilis identitas delapan tersangka itu. Mereka adalah aparatur sipil negara di Kemenaker: Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad. Selama periode 2019 hingga 2024, kelompok ini diketahui mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari praktik pemerasan pengurusan RPTKA. Angka sebesar itu benar-benar mencengangkan, dan kita patut prihatin karena uang rakyat seharusnya digunakan untuk kesejahteraan, bukan kantong pribadi.
RPTKA sendiri adalah dokumen wajib bagi tenaga kerja asing yang ingin bekerja di Indonesia. KPK menekankan bahwa tanpa RPTKA ini, proses penerbitan izin kerja dan izin tinggal bakal mandek. Akibatnya, para pekerja asing harus bayar denda Rp1 juta per hari. Situasi seperti ini membuat para pemohon terdesak, dan akhirnya mereka menyerahkan uang kepada tersangka demi mempercepat proses. Kita bisa bayangkan tekanan yang dialami para agen dan pekerja asing, yang datang dengan harapan membangun karir di sini tapi malah terjebak dalam lingkaran birokrasi yang korup.
KPK juga ungkap bahwa praktik pemerasan ini diduga dimulai sejak era Abdul Muhaimin Iskandar, atau yang akrab disapa Cak Imin, saat menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dari 2009 hingga 2014. Praktik itu berlanjut di masa Hanif Dhakiri (2014-2019) dan Ida Fauziyah (2019-2024). Sejarah panjang ini menunjukkan betapa dalamnya akar masalah di institusi tersebut, dan KPK tampak serius mengusutnya hingga tuntas.
Untuk memastikan proses hukum berjalan, KPK langsung menahan ketujuh belas tersangka. Kelompok pertama, yang terdiri dari empat orang, ditahan pada 17 Juli 2025. Sementara kelompok kedua menyusul pada 24 Juli 2025. Semoga penahanan ini jadi langkah awal menuju keadilan yang lebih luas, dan kita semua bisa belajar dari kasus ini untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Harap berkomentar yang sopan dan sesuai topik, komentar berisi spam akan dimoderasi. Terima kasih